Oleh: Ustadz Abdurrohman al-Buthoni
Segala puji bagi Alloh yang memiliki nama-nama yang baik dan memilih untuk para malaikat, para nabi, dan wali-wali-Nya nama-nama yang baik pula. Alloh menetapkan bagi semua ciptaan-Nya nama yang baik atau buruk sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Iblis, neraka, zholim adalah nama-nama untuk zat yang tidak baik, sedangkan surga, hamba Alloh, Muhammad adalah nama yang indah untuk sesuatu yang hakikatnya baik. Atas dasar ini, maka sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang tua dan merupakan hak dan kemuliaan anak yang baru lahir adalah pemberian nama yang baik dengan harapan agar menjadi anak yang sholih dan sholihah sesuai dengan namanya.
Segala puji bagi Alloh yang memiliki nama-nama yang baik dan memilih untuk para malaikat, para nabi, dan wali-wali-Nya nama-nama yang baik pula. Alloh menetapkan bagi semua ciptaan-Nya nama yang baik atau buruk sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Iblis, neraka, zholim adalah nama-nama untuk zat yang tidak baik, sedangkan surga, hamba Alloh, Muhammad adalah nama yang indah untuk sesuatu yang hakikatnya baik. Atas dasar ini, maka sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang tua dan merupakan hak dan kemuliaan anak yang baru lahir adalah pemberian nama yang baik dengan harapan agar menjadi anak yang sholih dan sholihah sesuai dengan namanya.
Sesungguhnya nama, julukan atau gelar yang baik memiliki pengaruh yang baik dalam jiwa sejak pertama kali menyebut atau mendengarnya. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan kita untuk berdo’a kepada-Nya dengan menyifati-Nya dengan nama dan sifat-sifat yang baik, firman-Nya:
Hanya milik Alloh asma ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.... (QS. al-A’rof [7]: 180)
Rosululloh memilihkan nama untuk anak-anak beliau dengan sebaik-baik nama pilihan, demikian pula para sahabat beliau. Rosululloh bersabda:
أَحَبُّ اْلاَسْمَاءِ اِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَبْدُ اللَّهِ وَ عَبْدُ الرَّحْمَانِ
“Sebaik-baik nama di sisi Alloh Ta’ala adalah Abdulloh dan Abdurrohman.” (HR. Muslim)
Para sahabat mengamalkan hadits ini dengan sebaik-baiknya sehingga yang memiliki nama “Abdulloh” di kalangan mereka berkisar 300 orang sahabat. Bahkan kebiasaan memberi nama yang baik adalah sunnah orang-orang mu’min dahulu.
Kapan memberi nama?
Ulama bersepakat tentang kewajiban memberi nama kepada anak, khususnya pada hari ketujuh karena mengamalkan hadits Rosululloh , di antaranya dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya:
أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُوْدِ يَوْمَ سَابِعِهِ وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ وَالْعَقِّ Para sahabat mengamalkan hadits ini dengan sebaik-baiknya sehingga yang memiliki nama “Abdulloh” di kalangan mereka berkisar 300 orang sahabat. Bahkan kebiasaan memberi nama yang baik adalah sunnah orang-orang mu’min dahulu.
Kapan memberi nama?
Ulama bersepakat tentang kewajiban memberi nama kepada anak, khususnya pada hari ketujuh karena mengamalkan hadits Rosululloh , di antaranya dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya:
“Sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk menamai anak pada hari ketujuh dan mencukur rambutnya serta diaqiqahi.” (HR. Tirmidzi: 2269, hasan)
Boleh memberi nama sebelum hari ketujuh berdasarkan beberapa dalil, di antaranya kisah lahirnya anak Abu Tholhah bahwa ketika anak tersebut lahir maka Anas membawanya kepada Rosululloh , lalu beliau mentahniknya dan menamainya Abdulloh. (HR. Bukhori: 5470 dan Muslim: 2144)
Siapa yang lebih berhak memberi nama?
Ulama menyebutkan—tanpa ada perbedaan pendapat—bahwa yang berhak memberi nama adalah bapak, bukan ibu. Dan termasuk petunjuk para sahabat sebagai para bapak dari anak-anak mereka adalah membawa anak-anak kepada Rosululloh untuk diberi nama. Ini menunjukkan bahwa hendaknya seseorang meminta pendapat kepada ahli ilmu agar memberi petunjuk kepadanya terhadap nama yang baik.
Kepada siapa anak dinisbatkan?
Sebagaimana halnya memberi nama adalah hak bapak, maka seorang anak dinisbatkan kepada bapaknya dan bukan kepada ibunya, sehingga panggilan atau sebutannya adalah “Ibnu Fulan” atau “Bintu Fulan” dan bukan “Ibnu” atau “Bintu Fulanah”. Dan seorang ayah dijuluki dengan nama anak laki-laki yang pertama tersebut yaitu ”Abu Fulan” dan “Ummu Fulan”.
Ada sebuah riwayat dari Abu Syuraih bahwasanya beliau dijuluki Abul Hakam maka Rosululloh berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allohlah al-Hakam dan kepada-Nya hukum.” Maka jawab Abu Syuraih: “Sesungguhnya kaum saya apabila berselisih tentang sesuatu maka mereka datang kepada saya lalu saya hakimi mereka dan masing-masing ridho dengan putusan saya.” Maka Rosululloh bersabda: “Alangkah baiknya ini, lalu siapa saja anak-anakmu?” Maka jawab Abu Syuraih: “Syuraih, Muslim, Abdulloh.” Rosululloh bersabda: “Siapakah di antara mereka yang paling tua?” Jawab Abu Syuraih: “Syuraih” Rosululloh pun bersabda: “(Kalau begitu julukan) Anda Abu Syuraih.” (Shohih Abu Dawud: 49)
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang dijuluki dengan nama anak laki-lakinya yang tertua, jika tidak ada maka dengan nama putrinya yang tertua, demikian pula wanita dijuluki seperti itu. (Lihat Syarh Sunnah 6/394)
Ketentuan Dalam Memberi Nama
Imam al-Mawardi menyebutkan tiga ketentuan dalam memilih nama, antara lain:
1. Hendaknya diambil dari nama-nama ahli agama dari kalangan para nabi dan hamba-hamba Alloh yang sholih seraya berniat taqorrub kepada-Nya dengan mencintai mereka dan menghidupkan nama-nama mereka dan mengikuti petunjuk Alloh dalam memilih nama-nama tersebut untuk para wali-Nya.
Syaikh ad-Dahlawi berkata: ”Sesungguhnya tujuan syari’at yang paling agung adalah memasukkan nama Alloh dalam semua keperluan utama agar setiap lisan mengajak kepada al-haq. Dengan demikian, maka memberi nama kepada anak dengan dzikrulloh merupakan syiar tauhid.
Bangsa Arab terbiasa memberi nama dengan apa yang mereka sembah, maka tatkala Rosululloh menegakkan dakwah tauhid beliau mensyari’atkan memberi nama yang disandarkan kepada Alloh. Oleh karena itu, dua nama (Abdulloh dan Abdurrohman) paling dicintai sebab keduanya merupakan nama yang paling masyhur dan tidak dipakai untuk selain Alloh. Dari sini pula dapat kita ketahui rahasia di balik nama Muhammad dan Ahmad yang menunjukkan pemiliknya bahwa ia termasuk pengikut dan ahlinya.”
2. Hendaknya sedikit hurufnya, ringan di lisan, dan mudah didengar.
3. Maknanya harus baik, cocok dengan yang diberi nama dan mengikuti nama orang-orang ahli agama.
(Lihat Manhaj Tarbiyah: 71)
Syaikh Bakar bin Abdulloh Abu Zaid menyebutkan tingkatan nama yang baik yaitu:
1. Abdulloh dan Abdurrohman.
2. Nama yang dinisbatkan kepada nama-nama Alloh seperti: Abdul Aziz, Abdul Malik, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kita dapati biografi ulama dan orang-orang sholih kaum muslimin dari timur dan barat penuh dengan nama yang mu’abbadah dengan nama Alloh (Dinisbatkan sebagai hamba Alloh, seperti: Abdulloh, Abdurrohman, dan lain-lain) atau muhammadah dengan nama nabi kita Muhammad , maka hendaknya kita meniti jalan salafush-sholih.
3. Nama-nama para nabi, dan yang paling baik adalah: nama nabi kita Muhammad .
Ulama berselisih pendapat tentang memberi nama dengan nama beliau sekaligus julukan beliau yaitu: Muhammad Abul Qosim. Ibnul Qoyyim berkata: “Yang benar adalah boleh memberi nama dengan nama beliau dan dilarang memberi julukan dengan julukan beliau (Abul Qosim), terutama di masa hidupnya.” (Zadul Ma’ad 2/347)
4. Nama orang-orang sholih dari kaum muslimin.
Para sahabat dalam hal ini adalah sebaik-baik sholihin (orang-orang sholih) sepanjang zaman. Oleh karena itu, para sahabat memiliki perhatian khusus dalam masalah ini. Zubair bin Awwam menamai sembilan orang anaknya dengan nama para syuhada perang Badar, Uhud, dan lainnya, yaitu: Abdulloh, al-Mundzir, Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, Ubaidah, Kholid, Umar.
5. Nama-nama yang maknanya baik dan benar.
(Lihat Tasmiyatul Maulud: 32–39)
Nama-nama yang Dilarang
Syaikh Bakar Abu Zaid menyebutkan nama-nama yang tidak boleh dipakai, antara lain:
1. Kaum muslimin sepakat tentang haramnya nama yang dinisbatkan kepada selain Alloh, seperti: Abdur-Rosul, Abdul Manaf, (1) Abdul Muththolib, dan sebagainya.
2. Memberi nama dengan nama Alloh seperti: ar-Rohman, dan sebagainya.
3. Memberi nama dengan nama khas orang-orang kafir seperti: Leo, George, Diana, Kristin, Anastasia, dan sebagainya.
4. Memberi nama dengan nama patung yang disembah selain Alloh seperti: Isaf, Nailah, dan sebagainya.
5. Nama yang tidak layak bagi makhluk yang mengandung makna pengultusan dan dusta seperti: Malikul Amlak (yang berarti Mahadiaraja).
6. Memberi nama dengan nama setan seperti: A’war, Ajda’, dan sebagainya.
Adapun nama yang makruh, di antaranya:
1. Nama yang bermakna jelek seperti: Harb (perang), Murroh (pahit); atau nama yang mengandung makna nafsu syahwat, yang biasa dipakai untuk nama anak perempuan seperti: Fatin (penggoda), dan sebagainya.
2. Sengaja memilih nama orang-orang fasik dari kalangan penyanyi, penari, pemain film, pemusik, pemain sandiwara, dan lain-lain.
3. Sekelompok ulama menganggap makruh memberi nama dengan nama malaikat seperti Jibril, atau dengan nama surat al-Qur’an seperti: Thoha, Yasin, dan sebagainya. Adapun yang masyhur di kalangan awam bahwa Thoha dan Yasin termasuk nama Rosululloh , tidaklah benar. (Lihat Tuhfatul Maudud: 109)
4. Semua nama yang disandarkan kepada lafazh “din” atau “Islam” seperti: Nurdin (cahaya agama), Saiful Islam (pedang Islam), dan seterusnya. Demikian itu karena agungnya kedudukan dua kalimat ini (ad-din dan al-Islam). (Lihat Tuhfatul Maudud: 13 dan ash-Shohihah no. 21).
Oleh karena itu, memakainya sebagai nama adalah dusta belaka yang karenanya sebagian ulama mengharamkannya dan kebanyakan mereka menganggap makruh. Dan pada asalnya penisbatan kepada dua lafazh ini hanya sekedar gelar (tambahan dari nama) dan bukan sebagai nama, lalu dipakai sebagai nama.
5. Nama yang tersusun yang bukan susunan idhofah atau frasa seperti: “Muhammad Said” — “Said” sebagai nama sedang “Muhammad” untuk tabarruk (mengharap berkah) saja, atau Muhammad Adam, dan semisalnya. Susunan nama seperti ini mengandung kesamaran, oleh karenanya hal seperti ini tidak ada dalam petunjuk salaf.
Kebiasaan Buruk
Yaitu menggabungkan nama bapak dengan anak tanpa menyebut kata “ibnu” atau “bin” antara kedua nama tersebut. Misalnya seorang bapak bernama Muhammad lalu mempunyai anak bernama Jubair, maka anak tersebut disebut “Jubair Muhammad” padahal seharusnya Jubair bin Muhammad. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang merupakan adopsi dari orang-orang Eropa sekitar abad ke-14.
Kita tidak mendapati atau mendengar ada orang yang menyebut nasab nabi kita dengan mengatakan “Muhammad Abdulloh”?! Jika demikian, mengapa kita meninggalkan mengambil teladan dari Rosululloh yang merupakan petunjuk yang terbaik, jalan yang lurus, dan pemilik sebaik-baik perkataan?! Maka lihatlah kesamaran yang diakibatkan karena membuang kata “ibnu” ini ketika ada nama yang sama sungguh tidak akan jelas kecuali dengan menyebut kata “ibnu” dan nama bapaknya sesudahnya. (Lihat Tasmiyatul Maulud: 141 dan 49)
Dan yang lebih buruk lagi adalah menyandarkan nama istri pada nama suami misalnya: Aisyah istri Muhammad dengan sebutan “Aisyah Muhammad”. Apakah maknanya Aisyah itu anaknya Muhammad? Tentu bukan. Lalu mengapa dikatakan Aisyah Muhammad sehingga menyamarkan maknanya? Maka pahamilah saudaraku kaum muslimin!
Mengganti Nama yang Jelek
Bagi seseorang yang telanjur memiliki nama diri atau memberi nama yang jelek pada anaknya atau orang lain maka harus menggantinya dengan yang baik dalam rangka mengikuti petunjuk Rosululloh dan para sahabatnya. Rosululloh mengubah nama yang jelek dengan nama yang baik seperti: ‘Ashiyah (wanita durhaka,—red) dengan Jamilah (wanita yang baik,—red). Demikian juga para sahabat yang memiliki nama jelek di masa jahiliah ketika masuk Islam mereka mengubah nama mereka dengan nama yang syar’i.
Berkata Syaikh Bakar: “Aku memanggil dengan panggilan syar’i kepada seluruh kaum muslimin agar mereka bertaqwa kepada Alloh dan beriltizam (konsekuen) dengan adab Islam dan sunnah Nabi , dan agar tidak menyakiti pendengaran dan penglihatan dengan menggunakan nama-nama yang buruk dan agar tidak menyakiti anak-anak mereka, sehingga menghalangi mereka dari nama-nama syar’i.”
Boleh memberi nama sebelum hari ketujuh berdasarkan beberapa dalil, di antaranya kisah lahirnya anak Abu Tholhah bahwa ketika anak tersebut lahir maka Anas membawanya kepada Rosululloh , lalu beliau mentahniknya dan menamainya Abdulloh. (HR. Bukhori: 5470 dan Muslim: 2144)
Siapa yang lebih berhak memberi nama?
Ulama menyebutkan—tanpa ada perbedaan pendapat—bahwa yang berhak memberi nama adalah bapak, bukan ibu. Dan termasuk petunjuk para sahabat sebagai para bapak dari anak-anak mereka adalah membawa anak-anak kepada Rosululloh untuk diberi nama. Ini menunjukkan bahwa hendaknya seseorang meminta pendapat kepada ahli ilmu agar memberi petunjuk kepadanya terhadap nama yang baik.
Kepada siapa anak dinisbatkan?
Sebagaimana halnya memberi nama adalah hak bapak, maka seorang anak dinisbatkan kepada bapaknya dan bukan kepada ibunya, sehingga panggilan atau sebutannya adalah “Ibnu Fulan” atau “Bintu Fulan” dan bukan “Ibnu” atau “Bintu Fulanah”. Dan seorang ayah dijuluki dengan nama anak laki-laki yang pertama tersebut yaitu ”Abu Fulan” dan “Ummu Fulan”.
Ada sebuah riwayat dari Abu Syuraih bahwasanya beliau dijuluki Abul Hakam maka Rosululloh berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allohlah al-Hakam dan kepada-Nya hukum.” Maka jawab Abu Syuraih: “Sesungguhnya kaum saya apabila berselisih tentang sesuatu maka mereka datang kepada saya lalu saya hakimi mereka dan masing-masing ridho dengan putusan saya.” Maka Rosululloh bersabda: “Alangkah baiknya ini, lalu siapa saja anak-anakmu?” Maka jawab Abu Syuraih: “Syuraih, Muslim, Abdulloh.” Rosululloh bersabda: “Siapakah di antara mereka yang paling tua?” Jawab Abu Syuraih: “Syuraih” Rosululloh pun bersabda: “(Kalau begitu julukan) Anda Abu Syuraih.” (Shohih Abu Dawud: 49)
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang dijuluki dengan nama anak laki-lakinya yang tertua, jika tidak ada maka dengan nama putrinya yang tertua, demikian pula wanita dijuluki seperti itu. (Lihat Syarh Sunnah 6/394)
Ketentuan Dalam Memberi Nama
Imam al-Mawardi menyebutkan tiga ketentuan dalam memilih nama, antara lain:
1. Hendaknya diambil dari nama-nama ahli agama dari kalangan para nabi dan hamba-hamba Alloh yang sholih seraya berniat taqorrub kepada-Nya dengan mencintai mereka dan menghidupkan nama-nama mereka dan mengikuti petunjuk Alloh dalam memilih nama-nama tersebut untuk para wali-Nya.
Syaikh ad-Dahlawi berkata: ”Sesungguhnya tujuan syari’at yang paling agung adalah memasukkan nama Alloh dalam semua keperluan utama agar setiap lisan mengajak kepada al-haq. Dengan demikian, maka memberi nama kepada anak dengan dzikrulloh merupakan syiar tauhid.
Bangsa Arab terbiasa memberi nama dengan apa yang mereka sembah, maka tatkala Rosululloh menegakkan dakwah tauhid beliau mensyari’atkan memberi nama yang disandarkan kepada Alloh. Oleh karena itu, dua nama (Abdulloh dan Abdurrohman) paling dicintai sebab keduanya merupakan nama yang paling masyhur dan tidak dipakai untuk selain Alloh. Dari sini pula dapat kita ketahui rahasia di balik nama Muhammad dan Ahmad yang menunjukkan pemiliknya bahwa ia termasuk pengikut dan ahlinya.”
2. Hendaknya sedikit hurufnya, ringan di lisan, dan mudah didengar.
3. Maknanya harus baik, cocok dengan yang diberi nama dan mengikuti nama orang-orang ahli agama.
(Lihat Manhaj Tarbiyah: 71)
Syaikh Bakar bin Abdulloh Abu Zaid menyebutkan tingkatan nama yang baik yaitu:
1. Abdulloh dan Abdurrohman.
2. Nama yang dinisbatkan kepada nama-nama Alloh seperti: Abdul Aziz, Abdul Malik, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kita dapati biografi ulama dan orang-orang sholih kaum muslimin dari timur dan barat penuh dengan nama yang mu’abbadah dengan nama Alloh (Dinisbatkan sebagai hamba Alloh, seperti: Abdulloh, Abdurrohman, dan lain-lain) atau muhammadah dengan nama nabi kita Muhammad , maka hendaknya kita meniti jalan salafush-sholih.
3. Nama-nama para nabi, dan yang paling baik adalah: nama nabi kita Muhammad .
Ulama berselisih pendapat tentang memberi nama dengan nama beliau sekaligus julukan beliau yaitu: Muhammad Abul Qosim. Ibnul Qoyyim berkata: “Yang benar adalah boleh memberi nama dengan nama beliau dan dilarang memberi julukan dengan julukan beliau (Abul Qosim), terutama di masa hidupnya.” (Zadul Ma’ad 2/347)
4. Nama orang-orang sholih dari kaum muslimin.
Para sahabat dalam hal ini adalah sebaik-baik sholihin (orang-orang sholih) sepanjang zaman. Oleh karena itu, para sahabat memiliki perhatian khusus dalam masalah ini. Zubair bin Awwam menamai sembilan orang anaknya dengan nama para syuhada perang Badar, Uhud, dan lainnya, yaitu: Abdulloh, al-Mundzir, Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, Ubaidah, Kholid, Umar.
5. Nama-nama yang maknanya baik dan benar.
(Lihat Tasmiyatul Maulud: 32–39)
Nama-nama yang Dilarang
Syaikh Bakar Abu Zaid menyebutkan nama-nama yang tidak boleh dipakai, antara lain:
1. Kaum muslimin sepakat tentang haramnya nama yang dinisbatkan kepada selain Alloh, seperti: Abdur-Rosul, Abdul Manaf, (1) Abdul Muththolib, dan sebagainya.
2. Memberi nama dengan nama Alloh seperti: ar-Rohman, dan sebagainya.
3. Memberi nama dengan nama khas orang-orang kafir seperti: Leo, George, Diana, Kristin, Anastasia, dan sebagainya.
4. Memberi nama dengan nama patung yang disembah selain Alloh seperti: Isaf, Nailah, dan sebagainya.
5. Nama yang tidak layak bagi makhluk yang mengandung makna pengultusan dan dusta seperti: Malikul Amlak (yang berarti Mahadiaraja).
6. Memberi nama dengan nama setan seperti: A’war, Ajda’, dan sebagainya.
Adapun nama yang makruh, di antaranya:
1. Nama yang bermakna jelek seperti: Harb (perang), Murroh (pahit); atau nama yang mengandung makna nafsu syahwat, yang biasa dipakai untuk nama anak perempuan seperti: Fatin (penggoda), dan sebagainya.
2. Sengaja memilih nama orang-orang fasik dari kalangan penyanyi, penari, pemain film, pemusik, pemain sandiwara, dan lain-lain.
3. Sekelompok ulama menganggap makruh memberi nama dengan nama malaikat seperti Jibril, atau dengan nama surat al-Qur’an seperti: Thoha, Yasin, dan sebagainya. Adapun yang masyhur di kalangan awam bahwa Thoha dan Yasin termasuk nama Rosululloh , tidaklah benar. (Lihat Tuhfatul Maudud: 109)
4. Semua nama yang disandarkan kepada lafazh “din” atau “Islam” seperti: Nurdin (cahaya agama), Saiful Islam (pedang Islam), dan seterusnya. Demikian itu karena agungnya kedudukan dua kalimat ini (ad-din dan al-Islam). (Lihat Tuhfatul Maudud: 13 dan ash-Shohihah no. 21).
Oleh karena itu, memakainya sebagai nama adalah dusta belaka yang karenanya sebagian ulama mengharamkannya dan kebanyakan mereka menganggap makruh. Dan pada asalnya penisbatan kepada dua lafazh ini hanya sekedar gelar (tambahan dari nama) dan bukan sebagai nama, lalu dipakai sebagai nama.
5. Nama yang tersusun yang bukan susunan idhofah atau frasa seperti: “Muhammad Said” — “Said” sebagai nama sedang “Muhammad” untuk tabarruk (mengharap berkah) saja, atau Muhammad Adam, dan semisalnya. Susunan nama seperti ini mengandung kesamaran, oleh karenanya hal seperti ini tidak ada dalam petunjuk salaf.
Kebiasaan Buruk
Yaitu menggabungkan nama bapak dengan anak tanpa menyebut kata “ibnu” atau “bin” antara kedua nama tersebut. Misalnya seorang bapak bernama Muhammad lalu mempunyai anak bernama Jubair, maka anak tersebut disebut “Jubair Muhammad” padahal seharusnya Jubair bin Muhammad. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang merupakan adopsi dari orang-orang Eropa sekitar abad ke-14.
Kita tidak mendapati atau mendengar ada orang yang menyebut nasab nabi kita dengan mengatakan “Muhammad Abdulloh”?! Jika demikian, mengapa kita meninggalkan mengambil teladan dari Rosululloh yang merupakan petunjuk yang terbaik, jalan yang lurus, dan pemilik sebaik-baik perkataan?! Maka lihatlah kesamaran yang diakibatkan karena membuang kata “ibnu” ini ketika ada nama yang sama sungguh tidak akan jelas kecuali dengan menyebut kata “ibnu” dan nama bapaknya sesudahnya. (Lihat Tasmiyatul Maulud: 141 dan 49)
Dan yang lebih buruk lagi adalah menyandarkan nama istri pada nama suami misalnya: Aisyah istri Muhammad dengan sebutan “Aisyah Muhammad”. Apakah maknanya Aisyah itu anaknya Muhammad? Tentu bukan. Lalu mengapa dikatakan Aisyah Muhammad sehingga menyamarkan maknanya? Maka pahamilah saudaraku kaum muslimin!
Mengganti Nama yang Jelek
Bagi seseorang yang telanjur memiliki nama diri atau memberi nama yang jelek pada anaknya atau orang lain maka harus menggantinya dengan yang baik dalam rangka mengikuti petunjuk Rosululloh dan para sahabatnya. Rosululloh mengubah nama yang jelek dengan nama yang baik seperti: ‘Ashiyah (wanita durhaka,—red) dengan Jamilah (wanita yang baik,—red). Demikian juga para sahabat yang memiliki nama jelek di masa jahiliah ketika masuk Islam mereka mengubah nama mereka dengan nama yang syar’i.
Berkata Syaikh Bakar: “Aku memanggil dengan panggilan syar’i kepada seluruh kaum muslimin agar mereka bertaqwa kepada Alloh dan beriltizam (konsekuen) dengan adab Islam dan sunnah Nabi , dan agar tidak menyakiti pendengaran dan penglihatan dengan menggunakan nama-nama yang buruk dan agar tidak menyakiti anak-anak mereka, sehingga menghalangi mereka dari nama-nama syar’i.”
Dari apa yang dijelaskan oleh para ulama di atas, seseorang cukup mengambil qudwah (suri teladan) dari salafush-sholih dalam memberi nama dan bahwasanya nama-nama yang baik telah ada kamusnya dari salaf tanpa perlu bersusah payah untuk merumuskan nama baru yang menyelisihi petunjuk salaf. Apalagi kalau motifnya sekadar agar ‘tampil beda’ dibanding nama-nama orang di sekitarnya, sampai-sampai ada sebagian orang jika diarahkan untuk memberi nama anaknya dengan nama sahabat atau istri-istri Rosululloh dia justru mengatakan: “Aku tidak mau, karena sudah banyak yang memiliki nama seperti itu.”
Ada pula sebagian kaum muslimin yang memberi nama anak laki-laki dengan Zholimin (laki-laki zholim), Qorun, Haman, atau anak perempuan dengan Fatinah, Jahiliah (masa kebodohan sebelum diutusnya Rosululloh ), Musyrikah (wanita musyrik), dan semisalnya dan tatkala ditanya apa sebabnya ia menamai anak dengannya maka tanpa merasa berdosa dia menjawab: “Nama itu ‘kan ada dalam al-Qur’an.”
Semoga bermanfaat dan menjadi lampu penerang bagi kita dalam menamai buah hati kita. Amin.
____________________________________
(1) al-Manaf bukan salah satu nama Alloh
Ada pula sebagian kaum muslimin yang memberi nama anak laki-laki dengan Zholimin (laki-laki zholim), Qorun, Haman, atau anak perempuan dengan Fatinah, Jahiliah (masa kebodohan sebelum diutusnya Rosululloh ), Musyrikah (wanita musyrik), dan semisalnya dan tatkala ditanya apa sebabnya ia menamai anak dengannya maka tanpa merasa berdosa dia menjawab: “Nama itu ‘kan ada dalam al-Qur’an.”
Semoga bermanfaat dan menjadi lampu penerang bagi kita dalam menamai buah hati kita. Amin.
____________________________________
(1) al-Manaf bukan salah satu nama Alloh
Kirim Saran Jika ada Pertanyaan