CITRA ideal wanita Indonesia masa kini memang belum ada pembakuan yang pasti. Dengan kata lain, citra ideal yang muncul masih sangat beragam, tumpang tindih, bahkan simpang siur. Tidak ada keseragaman dan kesepakatan konseptual ikhwal citra ideal wanita zaman modern ini.
Yang terjadi adalah bahwa para wanita menjalani peran sosialnya secara improvisatoris. Tak jarang, mengikuti pola-pola yang sedang dominan dan menjadi acuan banyak orang. Hal ini tentu saja sekadar reaksi dari tiadanya pembakuan citra ideal wanita masa kini. Semuanya serba reaktif, dan tanpa perencanaan yang jelas, untuk tidak menyebut ngawur.
Tradisional dan Modern
Di kota-kota besar misalnya, peran ideal wanita yang dibangun secara sosial adalah menjadi bagian dari peran-peran modernisasi dan ekonomisasi. Dengan kata lain, wanita akan disebut ideal jika dia berkarier akibat dibentuk oleh atmosfir kebudayaan kota yang dipengaruhi oleh nilai-nilai modernisme dan kapitalisme.
Hal itu jelas berbeda dengan konsepsi ideal di kawasan kota-kota kecil atau di pedesaan. Pandangan kuno yang menyebutkan peran wanita konco wingking (teman di belakang) masih dominan dan menjadi acuan tunggal bagi wanita yang lahir, tumbuh, dan besar di kawasan ini. Bagi mereka, menjadi wanita ideal adalah menjadi wanita yang tidak terlalu berpikir serius soal pekerjaan, karier, dan sejenisnya.
Wanita ideal dalam versi masyarakat tradisional adalah menjadi bagian sistem kebudayaan kolot yang menempatkan wanita sebagai komponen rumah tangga yang berperan sebagai "teman bagi pria". Sebagai teman, dirinya tidak boleh menonjol, apalagi menjadi pemeran utama, yaitu pria. Kalaupun para wanita harus mencari nafkah, itu semata karena kondisi yang memaksa. Itu hanya sekunder.
Idealnya, di mata para kaum tradisionalis, wanita itu sebaiknya tetap di rumah, mengurus suami dan anak. Wanita tidak boleh terlalu terpesona oleh tawaran modernisme dan kapitalisme yang dapat memberinya peran dalam mekanisme kebudayaan tersebut.
Dua citra ideal yang saat ini diperhadapkan kepada kaum wanita itu terus saja membayang-bayangi langkah mereka. Hal ini menjadi lebih terasa ketika seorang wanita berada di tengah-tengah struktur mobilitas sosial, misalnya sedang menempuh pendidikan tinggi.
Kisah seorang wanita karier stres karena tidak menikah pada usia senja, rasanya sudah klasik. Kendati demikian, ini memang menjadi suatu masalah paling serius yang dihadapi para wanita modern yang sudah memastikan diri terjun menjadi wanita karier. Di hadapannya terbentang masalah besar: apakah dia harus memihak karier, dan mengesampingkan segala tuntutan tradisional bahwa seorang wanita mesti menikah dan melahirkan keturunan.
Yang terjadi adalah bahwa para wanita menjalani peran sosialnya secara improvisatoris. Tak jarang, mengikuti pola-pola yang sedang dominan dan menjadi acuan banyak orang. Hal ini tentu saja sekadar reaksi dari tiadanya pembakuan citra ideal wanita masa kini. Semuanya serba reaktif, dan tanpa perencanaan yang jelas, untuk tidak menyebut ngawur.
Tradisional dan Modern
Di kota-kota besar misalnya, peran ideal wanita yang dibangun secara sosial adalah menjadi bagian dari peran-peran modernisasi dan ekonomisasi. Dengan kata lain, wanita akan disebut ideal jika dia berkarier akibat dibentuk oleh atmosfir kebudayaan kota yang dipengaruhi oleh nilai-nilai modernisme dan kapitalisme.
Hal itu jelas berbeda dengan konsepsi ideal di kawasan kota-kota kecil atau di pedesaan. Pandangan kuno yang menyebutkan peran wanita konco wingking (teman di belakang) masih dominan dan menjadi acuan tunggal bagi wanita yang lahir, tumbuh, dan besar di kawasan ini. Bagi mereka, menjadi wanita ideal adalah menjadi wanita yang tidak terlalu berpikir serius soal pekerjaan, karier, dan sejenisnya.
Wanita ideal dalam versi masyarakat tradisional adalah menjadi bagian sistem kebudayaan kolot yang menempatkan wanita sebagai komponen rumah tangga yang berperan sebagai "teman bagi pria". Sebagai teman, dirinya tidak boleh menonjol, apalagi menjadi pemeran utama, yaitu pria. Kalaupun para wanita harus mencari nafkah, itu semata karena kondisi yang memaksa. Itu hanya sekunder.
Idealnya, di mata para kaum tradisionalis, wanita itu sebaiknya tetap di rumah, mengurus suami dan anak. Wanita tidak boleh terlalu terpesona oleh tawaran modernisme dan kapitalisme yang dapat memberinya peran dalam mekanisme kebudayaan tersebut.
Dua Citra Ideal
Apabila dicermati, pada dasarnya kaum wanita masa kini menghadapi masa transisi yang lumayan panjang dalam kaitan pemenuhan citra idealnya sebagai wanita. Di satu sisi, ada tawaran untuk mengarungi arus modernisme dengan segala dinamikanya cenderung mempesona.
Di sisi lain, peran tradisional yang dibakukan selama berabad-abad dan sudah melembaga dalam kebudayaan, menawarkan romantisme akan peran wanita yang luhur, yaitu menjadi ibu rumah tangga.
Di sisi lain, peran tradisional yang dibakukan selama berabad-abad dan sudah melembaga dalam kebudayaan, menawarkan romantisme akan peran wanita yang luhur, yaitu menjadi ibu rumah tangga.
Dua citra ideal yang saat ini diperhadapkan kepada kaum wanita itu terus saja membayang-bayangi langkah mereka. Hal ini menjadi lebih terasa ketika seorang wanita berada di tengah-tengah struktur mobilitas sosial, misalnya sedang menempuh pendidikan tinggi.
Adalah jelas bahwa, perguruan tinggi sebagai bagian dari institusi modern merupakan tangga suatu mobilitas sosial. Para wanita yang masuk di dalamnya hampir dapat dipastikan memperoleh semacam tiket untuk mengakses struktur sosial yang lebih tinggi, entah itu pekerjaan, prospek ekonomi, presentasi, dan prestise (gengsi).
Tidak semua wanita beruntung dapat masuk ke perguruan tinggi. Ini berarti, tak semua wanita bisa punya tiket untuk mengakses struktur kemoderenan. Dan justru di sinilah letak masalahnya.
Di satu sisi mereka punya peluang untuk menjadi wanita hebat, wanita perkasa yang dapat mandiri secara sosial ekonomi. Tetapi di sisi lain, mereka juga merasa khawatir dengan peran-peran lama yang ditawarkan oleh romantisme kebudayaan tradisional. Akankah mereka bisa menjadi wanita ideal dengan mengacu kepada modernisme melulu ?
Tidak semua wanita beruntung dapat masuk ke perguruan tinggi. Ini berarti, tak semua wanita bisa punya tiket untuk mengakses struktur kemoderenan. Dan justru di sinilah letak masalahnya.
Di satu sisi mereka punya peluang untuk menjadi wanita hebat, wanita perkasa yang dapat mandiri secara sosial ekonomi. Tetapi di sisi lain, mereka juga merasa khawatir dengan peran-peran lama yang ditawarkan oleh romantisme kebudayaan tradisional. Akankah mereka bisa menjadi wanita ideal dengan mengacu kepada modernisme melulu ?
Ada gejala di Indonesia, terutama di kota-kota besar, kaum wanita mulai banyak yang mempertanyakan (menggugat) konsepsi citra ideal wanita masa kini. Benarkah menjadi wanita ideal itu mesti berkarier dan mencari nafkah? Itulah tema yang saat ini mulai menyentak kesadaran kaum wanita yang masuk dalam dunia modern dengan segala pesonanya yang begitu menjanjikan dan, kadang-kadang, memabukkan.
Kisah seorang wanita karier stres karena tidak menikah pada usia senja, rasanya sudah klasik. Kendati demikian, ini memang menjadi suatu masalah paling serius yang dihadapi para wanita modern yang sudah memastikan diri terjun menjadi wanita karier. Di hadapannya terbentang masalah besar: apakah dia harus memihak karier, dan mengesampingkan segala tuntutan tradisional bahwa seorang wanita mesti menikah dan melahirkan keturunan.
Apa komentar Anda tentang wanita masa kini....!!!
1 comments:
Obat Penenang Pikiran
obat penenang pikiran
Kirim Saran Jika ada Pertanyaan