BARU-baru ini beredar sebuah video dari salah satu stasiun televisi swasta yang menyiarkan acara berbalut busana muslim, namun justru berisi tentang pengabaran kitab suci yang notabenenya bukan milik muslim. Video ini sangat mudah dilihat di youtube. Persoalannya kemudian mengapa bungkusnya justru busana muslim? Kenapa tidak lawak, talkshow?
Muslim di Indonesia adalah objek utama segala sesuatu. Populasi yang mencapai 85% menjadikan muslim menjadi sasaran utama, apapun itu. Apalagi dalam persoalan menarik pemirsa, dan konsumen, daya pikat muslim luar biasa.
Hal ini bisa dilihat dari iklan di layar kaca yang bahkan harus mengubah modelnya yang biasanya berpakaian terbuka, berubah drastis mencari model yang berjilbab. Padahal iklan shampo yang rambutnya justru tertutup dengan jilbab. Ga’ masuk akal. Tapi muslim memang jadi daya pikat utama.
Yuswohady dalam bukunya Marketing to The Middle Class Moslem bahkan menjelaskan detil bagaimana muslim di Indonesia menggeliat tumbuh tinggi. Bank Syariah menjadi booming yang mulai mengusik bank konvensional. Hijabers yang menjadi komunitas menyeruak di tengah-tengah tren model wanita yang serba terbuka. Halal juga menjadi gerbang ajaib yang menjadikan konsumen muslim masuk di sebuah restoran. Rasanya kalau tidak halal tidak sah untuk makan di restoran. Umroh yang menjadi tren bagi borjuis menandakan muslim di Indonesia memiliki eksistensi tinggi.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana cara melawan siaran-siaran terselubung yang mengatasnamakan Islam namun ternyata bukan? Jawabannya adalah, muslim di Indonesia punya daya tawar yang cukup tinggi pada satu agenda bersama, memboikot. Ya, gerakan memboikot memiliki efek jera yang luar biasa.
Bayangkan seandainya 85% penduduk Indonesia tidak melihat stasiun televisi tersebut. Bisa kelabakan, akibatnya tidak akan ada iklan. 50% saja muslim di Indonesia meninggalkan stasiun tv tersebut sudah menjadi peringatan tersendiri. Bahkan Sari Ayu Martha Tilaar yang digdaya di kosmetik, mulai kelabakan menghadapi Wardah yang terus menggeliat menjadi magnet muslimah.
Jika dulu persoalannya kalau meninggalkan stasiun tv yang menyerang muslim tidak ada alternatif, maka saat ini alasan tersebut sudah tidak relevan. Stasiun tv sudah menjamur, tv dakwah sudah semakin banyak. Bahkan stasiun tv yang hanya memutar al Quran di sepanjang hari dan menampilkan gambar tawaf ternyata memiliki peminat yang besar.
Artinya kesempatan Muslim menjadi satu kekuatan besar akan muncul dan berkembang dengan satu cara, keberpihakan muslim sebagai pemirsa dan konsumen kepada muslim yang lain. Menjadi konsumen dari sahabat muslim adalah cara paling indah keberpihakan.
Contoh kecil adalah air mineral. Jika memang diketahui air mineral tertentu milik umat lain yang justru menyerang muslim, maka lebih baik membeli air minum alternatif, lebih bagus milik saudara muslim. Jika saudara kaya, nantinya akan bersadaqah untuk saudara muslim. Stasiun tv menyerang muslim, ramai-ramai jangan menonton.
Ini bukan persoalan diskriminasi. Ini justru mencontoh non muslim dalam persoalan keberpihakan. Pernahkah Anda melihat sebuah etnis tertentu yang non muslim membeli barang di toko-toko milik muslim? Pasti jarang. Meskipun butuh data namun bisa dibuktikan. Mereka lebih senang belanja di saudaranya. Untuk mensejahterakan sesama. Kenapa kita tidak melakukan kepada saudara sesama muslim?
Media juga sama. Banyak yang mengeluh media sudah tidak netral, lebih menyudutkan Islam. Cukup jangan membacanya kembali. Pembaca berkurang, daya tawar media tersebut pada iklan berkurang. Ingat, kita punya 85% populasi, jika 50% saja muslim melakukan gerakan keberpihakan. Maka muslim akan kuat.
Jangan heran meski hanya populasi non muslim 15%, namun mereka begitu menggeliat dalam ekonomi, bahkan di sisi yang lain. Jawabannya hanya satu, keberpihakan mereka yang kuat. Jangan terkejut juga jika 85% populasi muslim justru tidak menimbulkan kekuatan besar, jawabannya tentu saja keberpihakan yang lemah, lebih ironi lagi jika ternyata yang 85% lebih bangga dengan produk dari pihak 15%.
Kirim Saran Jika ada Pertanyaan